Pencarian

Abdul Wahid Minta Aset Dikembalikan


Terdakwa Abdul Wahid melalui kuasa hukumnya sampaikan pembelaan di hadapan Majelis Hakim. Foto - Tim

MEDIAKITA.CO.ID - Terdakwa kasus dugaan suap, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Bupati Hulu Sungai Utara nonaktif, Abdul Wahid minta dibebaskan dari jeratan dakwaan jaksa penuntut umum.

Permintaan itu disampaikan dalam sidang lanjutan pembacaan pleidoi atau nota pembelaan di PN Tipikor Banjarmasin, Senin (8/8/22) petang.

Melalui kuasa hukumnya, terdakwa Abdul Wahid menyatakan ada beberapa dakwaan dan tuntutan yang disampaikan Penuntut Umum KPK yang tidak terbukti dalam persidangan.

Pertama yakni dakwaan dan tuntutan pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. 

"Karena uang Rp 195 juta itu memang tidak pernah diterima terdakwa, tapi diterima oleh Maliki (eks Kadis PUPRP HSU)," ujar Penasihat Hukum terdakwa, Fadli Nasution. 


Abdul Wahid meminta sejumlah aset yang sebelumnya disita KPK untuk dikembalikan. Foto - Tim

Selain itu, Fadli juga menyebut bahwa nilai ganti rugi dalam tuntutan jaksa Rp 26 miliar lebih tidak sesuai dengan jumlah yang telah diterima Abdul Wahid. Dari perhitungan mereka, Wahid hanya menerima sekitar Rp 11,5 miliar. 

"Hitungan ini dari saksi yang benar-benar dihadirkan ke persidangan," tekannya.

Dalam nota pembelaan setebal 1011 halaman itu, empat bidang tanah yang sebelumnya disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI agar dikembalikan. Sebab, aset dimaksud dinilai tidak masuk dalam pokok dakwaan.

Menanggapi pembelaan Wahid, Jaksa KPK RI, Tito Jaelani menyatakan tetap pada tuntutannya. Di mana pada persidangan sebelumnya, denda sebesar Rp 500 juta, subsider 1 tahun kurungan. Kemudian, dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 26 miliar lebih. 

Dengan ketentuan, apabila setelah 1 bulan putusan inkrah dan terdakwa tak dapat membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Jika tak mencukupi, maka terdakwa dipidana selama 6 tahun.

Menurut JPU KPK RI, uang pengganti diperhitungkan dari total gratifikasi yang menurut penuntut Umum telah diterima terdakwa sejak 2015, berupa fee proyek dan jual beli jabatan di lingkup Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), yakni lebih Rp 31 miliar. 

Jumlah itu lalu dikurangkan dengan aset likuid yang telah disita penyidik dan dirampas untuk negara, termasuk uang tunai baik berupa Rupiah, Dolar Amerika maupun Dolar Singapura yang nilainya setara kurang lebih Rp 5,1 miliar. 

"Kalau terkait selisih perhitungan gratifikasi yang diterima berbeda ya itu hal biasa saja mereka punya perhitungan kami juga punya perhitungan sendiri," ujar Tito.

Sidang sebelumnya, Jaksa KPK RI meyakini terdakwa Abdul Wahid bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU.

Hal ini seperti didakwakan pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. 

Lalu, Pasal 12B UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Serta Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (tim)