Pencarian

Ditahan KPK, Bupati Abdul Wahid Disebut Terima Fee Hingga Belasan Miliar


Bupati Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid HK resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto - Tangkapan layar

MEDIAKITA.CO.ID – Bupati Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid HK resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus suap proyek irigasi oleh Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat dihadirkan dalam konferensi pers, Bupati Abdul Wahid tampak mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol.

“Kita telah menemukan bukti yang cukup bahwa salah satu kepala daerah di HSU diduga telah melakukan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji,” ucap Ketua KPK, Firli Bahuri dilansir dari tayangan langsung YouTube KPK RI, Kamis (18/11/21).

Berbekal bukti yang didapat dalam penyelidikan, KPK menilai telah terjadi pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Bupati HSU dua periode itu.

“Diduga ada penyerahan uang oleh Kepala PUTR (Maliki) untuk menduduki jabatan kepada tersangka Abdul Wahid,” terang Firli.

Penyerahaan uang itu diketahui terjadi di kediaman Maliki pada Desember 2018 melalui ajudan Bupati Abdul Wahid. Kemudian, awal 2021, Maliki juga menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas untuk melaporkan ploting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air pada Dinas PUTR HSU.

Dalam dokumen laporan itu, Maliki disebut telah menyusun daftar nama kontraktor yang bakal dimenangkan untuk mengerjakan berbagai proyek.

“Tersangka Abdul Wahid menyetujui paket ploting ini dengan syarat adanya pemberian dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee yaitu 10 persen untuk dirinya. Sedangkan, lima persen untuk Maliki,” lanjutnya.

Selain itu, melalui perantara Maliki, Bupati Abdul Wahid juga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya. Rinciannya, pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, 2020 Rp12 miliar. Kemudian, Rp1,8 miliar pada 2021.

Selama proses penyelidikan berlangsung, ujar Firli, Tim Penyidik KPK telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah serta mata uang asing.

“Atas perbuatannya, tersangka Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf A atau huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” ujarnya.

Selain itu, karena ditengarai perbuatan berlangsung dan belanjut, politisi Partai Golkar itu juga terancam jerat Pasal 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 65 KUHP.

Guna proses penyelidikan, KPK langsung melakukan penahanan terhadap Abdul Wahid selama 20 hari kedepan, terhitung sejak 18 November sampai 7 Desember 2021. Ia akan ditahan di rumah tahanan negara KPK pada Gedung Merah Putih.

Penetapan tersangka terhadap Bupati Abdul Wahid ini merupakan pengembangan terhadap operasi tangkap tangan (OTT) yang sebelumnya dilakukan pada pertengahan September 2021.

Kontruksi perkara kasus suap itu sendiri bermula dari Dinas PUTR Kabupaten HSU yang tengah merencanakan dua proyek lelang irigasi di antaranya Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah Kecamatan Amuntai Selatan, dengan nilai proyek Rp1,9 miliar. Lalu, Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang, Desa Karias Dalam, Kecamatan Banjang senilai Rp1,5 miliar.

Namun, sebelum melaksanakan lelang ternyata tersangka Maliki telah melakukan pembahasan persyaratan lelang bersama Marhaini dan Fachriadi. Ketika itu, Maliki telah meminta kepada calon pemenang lelang proyek untuk nantinya agar memberikan fee sebesar 15 persen.

Pada proses lelang, terdapat 8 perusahaan yang mengajukan penawaran atas proyek irigasi DIR tersebut. Hasilnya, Marhani memenangi lelang proyek DIR Kakayah, sementara proyek Irigasi DIR Banjang Desa Karias jatuh ke tangan Fachriadi.

Atas kasus yang menjerat, kedua terduga pemberi suap yakni Marhaini dan Fachriadi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 KUHP.

Sementara, tersangka Maliki selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf  (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 64 KUHP Jo Pasa 65 KUHP. (tim)