Pencarian

E-Waste 2021, Pulau Jawa 'Sumbang' 56 Persen; Banjarbaru Berapa?

Ilustrasi. Sampah elektronik yang menggunung. Foto - Pixabay/Maruf_Rahman

MEDIAKITA.CO.ID - Sampah elektronik atau E-Waste, merupakan salah satu jenis sampah yang cukup menjadi persoalan dibanyak negara di dunia.

Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020 lalu, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton.

Dari total 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia --termasuk Indonesia-- menjadi penyumbang sampah elektronik paling tinggi, yakni sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi negara penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara. Wow!

Dilansir dari Greenpeace, Indonesia menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 menyebutkan bahwa di tahun 2019 lalu, Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik.

Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan. Bagaimana tidak, hanya dalam kurun waktu 5 tahun saja, sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat!

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Selain pola hidup masyarakat yang konsumtif, peningkatan timbulan sampah elektronik juga disebabkan dari sisi produksi. Sebab, di Indonesia masih belum fokus untuk membuat desain produk elektronik yang tahan lama dan mudah diperbaiki dengan komponen-komponen yang mudah dicari.

Dilain sisi, Indonesia mayoritas hanya berupa distributor sehingga tidak membuat produknya sendiri, terutama untuk smartphone dan device untuk Internet of Things. Jenis sampah elektronik ini justru yang paling banyak diminati dan dibeli.

Tak hanya itu, sistem pengelolaan sampah elektronik di Indonesia juga masih belum mumpuni. Padahal, sampah elektronik tergolong sebagai sampah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Setelah menunggu 12 tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan payung hukum pengelolaan sampah elektronik.

Sementara itu, sepanjang 2021 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat timbunan sampah elektronik di Indonesia mencapai 2 juta ton. Dari angka tersebut, pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari total sampah elektronik yang dihasilkan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mengakui pengelolaan sampah elektronik di Indonesia memang belum optimal. Oleh sebab itu, persoalan limbah sampah elektronik ini harus segera dituntaskan.

Sebab, di era digital saat ini yang disertai dengan sifat konsumtif masyarakat terhadap perangkat elektronik, potensi timbunan sampah elektronik di Indonesia sangat besar. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia.

"Saya ada beberapa PC di rumah sudah 20 tahunan, iOS nya gak sampai, udah gak bisa diapa-apakan lagi. Dengan adanya acara ini, kita bisa menjadi pionir di lapangan harus diapakan ini (sampah elektronik)," kata Vivien dilansir dari laman menlhk.go.id.

Penyuluh Lingkungan DLH Banjarbaru, M Kamriyansyah. Foto - Ardian

Lantas, apakah sampah elektronik ini juga menjadi persoalan di Kota Banjarbaru? Mediakita.co.id coba mencari tahu jawabannya dengan mendatangi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarbaru di Jalan Trikora, Selasa (4/1/22).

Kepala DLH Kota Banjarbaru, Sirajoni melalui Penyuluh Lingkungan, M Kamriyansyah menyampaikan bahwa berdasarkan catatan ditahun 2021 lalu, persentase sampah elektronik yang dikelola pihaknya hanya berkisar antara 1 sampai 5 persen saja dari total 150 ton sampah per harinya.

Menurutnya, angka tersebut tidak mengganggu pengelolaan sampah di Kota Banjarbaru.

"Sangat kecil sekali sampah elektronik itu," ucapnya.

Kamriyansyah menambahkan, salah satu faktor penyebab sampah elektronik ini cukup kecil persentasenya jika dibandingkan jenis sampah lainnya, lantaran sudah ada pihak ketiga atau pengepul (loak, red) yang membeli sampah elektronik itu dengan harga tersendiri. Dengan demikian, cukup sulit menemukan sampah elektronik yang dibuang secara percuma oleh masyarakat di Kota Idaman.

"Sampah elektronik masih memiliki nilai ekonomis," jelasnya.

Sementara itu, untuk jenis sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti aki bekas juga dikelola oleh pihak ketiga. Aki bekas ini dinilai masih memiliki nilai ekonomis dan bisa diperjual-belikan kembali.

"Pihak ketiga itu juga yang memiliki kemampuan memusnahkan sisa dari aki tersebut," ujarnya.

Kedepan beber Kamriyansyah, pihaknya akan membuat Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur tentang pengelolaan sampah limbah dari sisa-sisa pembangunan (material), sehingga tidak dapat dibuang secara bebas.

"Kami ingin membuat secara khusus Perda dalam penanganan sampah secara fisik, seiring juga rencana perubahan Perda persoalan sampah yang dibuat pada tahun 2011 lalu,  sehingga sudah layak untuk pembaharuan Perda," pungkasnya.

Sekadar informasi, sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak.

Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. (tim)