Ketua MUI Bidang Fatwa, KH. Asrorun Ni'am Sholeh. Foto - mui.go.id
MEDIAKITA.CO.ID - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menetapkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produksi Astra Zeneca, pada Selasa (16/3/21) lalu.
Dilansir dari laman mui.go.id, setelah melakukan kajian mendalam dan pertimbangan sejumlah ahli terpercaya, MUI memutuskan bahwa vaksin produksi Astra Zeneca hukumnya haram.
Fatwa haram itu berdasarkan proses pembuatan vaksin, di mana pihak produsen menggunakan tripsin dari pankreas babi pada pembuatan inang (rumah) virusnya.
Tripsin sendiri bukan bahan baku utama virus, melainkan suatu bahan yang digunakan untuk memisahkan sel inang virus dengan micro carier virus.
Meski difatwakan haram, Ketua MUI Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh menyatakan vaksin Astra Zeneca menjadi mubah digunakan dalam situasi darurat. Disebutkan, ada lima hal yang membuat vaksin Covid-19 tersebut mubah untuk disuntikkan.
Pertama, dari sisi agama Islam, ada hal mendesak yang membuat ini masuk dalam kondisi darurat. Sumber-sumber hukum dari Al-Quran, Hadist, Kitab Ulama, maupun kaidah fiqih membolehkan penggunaan (mubah) sebuah obat meskipun itu haram dalam kondisi darurat.
“Ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syar’iyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iyah,” ujar KH. Asrorun Niam dikutip dari laman mui.go.id.
Kedua, selain mengacu landasan agama, hal tersebut juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan. Beberapa ahli kompeten yang dihadirkan dalam sidang fatwa MUI menyebutkan bahwa akan ada risiko fatal apabila vaksinasi Covid-19 tidak berjalan.
“Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19,” ungkapnya.
Ketiga, memang paling utama menggunakan vaksin yang sudah terjamin halal dan suci seperti vaksin Covid-19 produksi Sinovac. Namun Indonesia hanya memperoleh jatah sekitar 140 juta vaksin dan yang bisa digunakan hanya 122,5 juta dosis.
Jumlah tersebut tidak dapat memenuhi syarat untuk membentuk herd immunity karena hanya bisa digunakan untuk sekitar 28% penduduk. Untuk menambah pasokan, maka pemerintah membutuhkan vaksin yang diproduksi oleh produsen lain salah satunya Astra Zeneca.
“Ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok,” ujarnya.
Saat ini hampir seluruh negara berlomba-lomba mendapatkan jatah vaksin lebih untuk warganya. Karena itu, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk memilih vaksin mana yang diprioritaskan dipilih karena keterbatasan jumlah vaksin ini.
Meskipun sejumlah produsen vaksin sepergi Pzifer, Novavac, Sinopharm, dan Moderna telah berkomitmen, namun hingga kini belum menetapkan jatah vaksin untuk Indonesia.
“Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19, mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia,” jelasnya.
Terakhir, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin edar darurat vaksin Astra Zeneca tertanggal 22 Februari 2021. Hal tersebut menandakan vaksin bersangkutan sudah terjamin dari segi keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy).
“Ada jaminan keamanan pengunaannya oleh pemerintah,” demikian kata Kiai Niam. (tim)