Praktisi Kintung yang kini tidak lagi muda sedang memainkan alat musik Kintung. Foto - Salim
MEDIAKITA.CO.ID – Menjelang siang, ketika Mediakita mengutarakan maksud kedatangan, tergopoh-gopoh Husaini (63) menuju ruang belakang. Tidak berapa lama, tirai tersibak. Dengan senyum yang terukir di wajah serta binar mata yang menguarkan semangat, pria tua itu membawa tujuh potong bilah bambu.
Ia mengenalkannya sebagai Kintung. Yaitu, seperangkat alat musik tradisional dari Kabupaten Banjar yang terbuat dari batang bambu pilihan. Walau bentuknya sederhana, dan secara kasat mata terlihat mudah diolah, namun untuk membuatnya diperlukan keahlian dan ketekunan.
“Untuk menghasilkan bunyi nadanya, potongan-potongan bambunya perlu diraut dengan teliti,” kata Husaini yang ditemui di rumahnya di Jalan Melati, Desa Bincau Muara, Kabupaten Banjar.
Tiap potong bambunya memiliki nama, dimulai dari ukuran terpendek hingga yang paling panjang; Kacikali Rendah, Kacikali Tinggi, Tinti Rendah, Tinti Tinggi, Pindua Rendah, Pindua Tinggi, dan Gorok. Kesenian tradisional ini berasal dari Kabupaten Banjar, yakni Desa Sungai Alat, Astambul, dan Bincau.
Alat musik tradisional Kintung. Foto - Salim
Husaini bercerita, dulu ketika kemarau panjang tak kunjung usai dan menyebabkan banyak sawah mengalami kekeringan, seorang tokoh di desanya yang biasa dipanggil Kai Wali menyuruh almarhum ayahnya, Abdul Hamid, membuat Kintung. Seingatnya, saat kejadian tersebut, ia berusia sekitar 10 tahunan.
Diperlukan waktu sekitar dua hari untuk menyelesaikannya. Ketika sudah selesai, Kai Wali menyuruh almarhum ayahnya untuk membunyikan Kintung dengan mengentak-entakkan ke bantalan yang terbuat dari kayu.
“Setelah dibunyikan, selang satu hari, tiba-tiba hujan turun lebat, dan pahumaan (sawah, red) tidak kering lagi,” cerita Husaini.
Lebih jauh Husaini menceritakan, alunan merdu suara Kintung itu menyerupai suara-suara katak atau kodok ketika musim penghujan, pertanda hujan akan segera datang. Sehingga, sebagian masyarakat menyakini Kintung yang dimainkan mampu memanggil hujan.
“Kintung itu biasanya dimainkan selepas salat Isya, suaranya bisa kedengaran dari jauh,” kata Husaini.
Ketika era 70-an, Kintung pernah menjadi primadona, dan bunyinya terdengar di berbagai pelosok desa. Selain itu, juga sering dilombakan antar desa. Ketika lomba tersebut digelar, saking asyiknya mengentakan Kintung ke tanah atau bantalannya, Kintungnya menjadi pecah atau nada yang dimainkan tidak harmonis lagi karena terbawa arus permainan lawan.
“Saat itu, Kintung menjadi hiburan bagi masyarakat, dan keakraban warga semakin erat,” ucapnya.
Momen yang selalu dikenang Husaini adalah ketika ia bersama kawan-kawannya memainkan Kintung ketika peresmian Jembatan Barito pada penghujung tahun 90-an.
”Saat itu, banyak masyarakat yang menyaksikan,” kenangnya.
Selain itu, pertunjukan Kintung juga sering mengisi perayaan hari jadi kota/kabupaten maupun acara perkawinan.
Seiring bergulirnya waktu, beralihnya zaman, suara Kintung semakin tak terdengar lagi. Hal demikian membuatnya menjadi galau. Diakui, saat ini Kintung hanya dimainkan oleh orang-orang seusia dirinya atau yang berusia di atas 50 tahun, tidak ada generasi muda yang memainkannya.
“Siap saja mengajarkan memainkan atau membuat Kintung, tapi tidak ada yang mau belajarnya,” katanya.
Nyaris punah tersebab tergerus waktu, pria tua yang telah memainkan Kintung sejak usia 10 tahunan ini berharap, Pemkab dapat “Ma’angkat Batang Tarandam” agar seni budaya tradisional ini dapat lestari, juga ada regenerasi yang mewarisinya. Sehingga, suara-suara ‘Pemanggil Hujan’ ini dapat terus eksis di tengah perkembangan zaman. (slm)