Drs. H. Setia Budhi, M.Si., Ph. D (kiri) saat menjadi salah satu pembicara dalam Dialog Sastra Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra ke-17 di halaman Disporabudpar Kota Banjarbaru. Foto - Dok. Mediakita.co.id
Penulis: Setia Budhi (Antropolog)
MEDIAKITA.CO.ID - April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit Pengantar Bahasa dan Sastra Indonesia I Made Suarta majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa Sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan sematamata” Karangan Soedjatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri, seperti Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain.
Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis”. Dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka).
Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Demikianlah dan kini April 2023, 71 tahun semenjak symposium itu, krisis dalam sastra apakah terus terjadi? Apakah sastra dan terutama Puisi segera meninggalkan altarnya menuju liang lahat, terkubur bersama zaman serba canggih, sera media sosial dan serba digital. Beribu kecemasan yang menemukan akar masalahnya yang bernama krisis literasi.
Maka 8 April 2023, seakan mendobrak kebuntuan, ada diskusi Sastra di Banjarbaru. Lalu kemudian melompat dengan penyair senior Michy Hidayat yang menawarkan Banjarbaru Kota Puisi dalam malam Tadarus Puisi XVII, Membaca Kota Dalam Puisi.
Saya berada sebagai narasumber dan tentu tidak serta merta melahap lompatan kota puisi itu, dan tetap dengan kritis mengolahnya dengan sejumlah pertanyaan dan harapan. Berapa jumlah pembaca Puisi di kota ini, jumlah penerbitan, jumlah penerbit puisi dan juga seberapa jauh jangkauan pubikasi puisi para penyair dan tentu saja sudah ada berapa puisi yang diterjemahkan dalam bahasa asing.
Dari timbunan puisi di sudut kota, ayo bergandengan tangan untuk tiap tempat nongkrong anak anak muda untuk membaca puisi, apakah dengan puisi ringan, puisi sepele ataukah membaca puisi religi, sebagai bantuk bagian amal ibadah kepada Sang Khalik.
9 April 2023
Rumah Hapakah Hasurah
Desa Sei Getas Bakumpai