Pencarian

Marak Hunian Ambruk di Banjarmasin, Dua Dosen ULM Beberkan Solusinya


Hunian semi permanen yang ambruk di Jalan Melati Indah I Jalur I Nomor 08 RT. 30 RW. 02, Kota Banjarmasin baru-baru tadi. Foto - Hans

MEDIAKITA.CO.ID – Insiden bangunan ambruk kian marak terjadi di Kota Banjarmasin dalam waktu belakangan ini. Kondisi itu lantas menghantui warga Ibukota Kalimantan Selatan, terlebih mereka yang tinggal di sekitar bantaran sungai.

Ambruknya bangunan sendiri dituding akibat beberapa faktor, salah satunya kegagalan struktur pondasi. Sebagaimana diketahui, modern ini kebanyakan bangunan atau hunian warga memilih kayu galam (sebutan bahasa Banjar, red), sebagai pondasi utama.

Namun, rupanya pemilihan kayu galam untuk pondasi memerlukan ketelitian dan perhitungan yang matang. Sebab, jika asal-asalan pondasi tersebut dipastikan tak mampu menahan berat beban di atasnya, sehingga peristiwa ambruk tak dapat lagi terelakkan.

Setidaknya terdapat dua penyebab utama kegagalan struktur pondasi dengan bahan kayu galam, di antaranya yakni besarnya tegangan lentur maupun geser sunduk pada beberapa posisi tiang, terutama yang mengalami kombinasi pembebanan. Kondisi itu disinyalir berpotensi menyebabkan kepatahan pada bagian sunduk.

Lalu, faktor berikutnya ialah pelapukan pada bagian kepala pancangan galam akibat penancapan yang kurang sempurna. Pelapukan itu dapat menyebabkan penurunan atau pergeseran lapak yang bertumpu pada bagian tersebut.

“Kebanyakan kasus bangunan runtuh akibat patahnya sunduk. Sunduk sendiri umumnya kayu 5/10 namun tidak sedikit juga sunduk berukuran menjadi 4/8. Adapun faktor lain seperti kualitas kayu ulin itu sendiri,” kata Dosen dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ir. Deddy Huzairin M.Sc saat menjadi Narasumber dalam webinar Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalsel, Senin (20/12/21).


Dua dosen dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengupas secara dalam masalah rumah ambruk di Banjarmasin melalui webinar yang dihelat IAI Kalsel. Foto - Tangkapan layar

Menurut Deddy, dalam pembangunan pondasi umumnya menggunakan 4 hingga 6 batang kayu galam. Jumlah itu disesuaikan dengan penyaluran beban pada bagian dinding serta komponen penting lainnya seperti tiang, sunduk, lapak maupun pancangan galam itu sendiri.

Ia juga menyinggung kondisi lahan gambut di Banjarmasin yang terdiri dari berbagai lapisan, mulai tanah lunak hingga tanah keras. Rincinya, untuk lapisan tanah lunak berada pada kedalaman 25 meter. Sedangkan, tanah keras rata-rata berada di kedalaman 40 meter.

Dengan situasi tersebut, dirinya pun menyarankan agar mempersiapkan desain struktur pondasi secara matang. Bahkan, jika perlu melakukan konsultasi bersama pihak yang berkompeten dalam bidang tersebut.

“Rumah yang runtuh hampir semua menggunakan pondasi cerucuk galam. Ada baiknya sebelum pembangunan perlu dialog dengan tukang kayu yang kompeten terkait desain struktur khususnya pondasi,” pintanya.

Selain komunikasi bersama ahli, Deddy juga memberikan sederet solusi lainnya untuk meminimalisir potensi kegagalan pondasi. Pertama yakni menggunakan sunduk dengan ukuran lebih besar atau minimal 5/12. Kedua, memastikan bahwa bagian atas atau kepala galam berada di bawah garis air tanah terendah saat puncak musim kemarau.

Kemudian, mengurangi elemen beban terbesar serta menggunakan suai atau pengikat yang mencukupi pada tiang di bagian terluar bangunan serta di bawah dinding.

“Tak kalah penting, sosialisasi dan regulasi juga harus ditegakkan,” tuturnya di hadapan puluhan peserta webinar.

Sementara itu, seorang Narasumber lainnya, Dr. Bani Noor Muchamad, S.T., M.T., menyatakan bahwa fenomena bangunan ambruk disebabkan sejumlah faktor, baik alamiah maupun oleh manusia.

Apabila fokus pada faktor alamiah, sambungnya, maka masyarakat harus memahami serta mengenal lebih dalam soal lahan basah (gambut). Adapun karakteristik lahan basah seperti mudah kering, mudah amblas, berat isi dan daya dukung rendah, kemampuan menyimpan air tinggi, kandungan bahan organik dan karbon tinggi, hingga kandungan zat hara serta asam (Ph) yang rendah.

“Lahan basah terbagi menjadi dua. Pertama di wilayah pesisir dan juga ada lahan basah yang berada di daratan seperti rawa-rawa (air tawar maupun gambut),” ungkapnya.

Dr. Bani juga menuturkan bahwa lahan gambut mengalami amblas sekitar 16 centimeter hampir setiap tahunnya. Keadaan itu buntut dari alih fungsi lahan sehingga mengakibatkan terjadi penurunan pada permukaan tanah.

Mengingat, hampir seluruh daratan di Kota Seribu Sungai merupakan lahan gambut. Ia pun mengajak warga agar kembali memahami hakikat tentang kearifan lokal, baik dari sisi bangunan mapun sektor lingkungan.

“Kearifan lokal merupakan warisan yang dapat menjadi solusi masa depan. Idealnya lahan basah tak ditinggali atau dibangun hunian, namun jika tetap membangun maka harus patuh norma-norma dari kearifan lokal agar tidak terjadi bencana kedepannya,” ucapnya.

Meminjam catatan IAI Kalsel, sedikitnya terdapat 21 bangunan di Banjarmasin yang mengalami ambruk sepanjang 2018 hingga 2021. Teranyar, insiden serupa menimpa hunian semi-permanen milik Atika di Jalan Melati Indah I Jalur I Nomor 08 RT. 30 RW. 02, Kelurahan Sungai Lulut, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin. (hns)