Pencarian

Mengenang Jumat Kelabu Banjarmasin: Syaharani Tak Kunjung Pulang; Jumlah Korban Masih Simpang Siur


Ditengah suasana genting, masyarakat nekat menjarah barang di pertokoan. Foto - Dok. Alizbomb

MEDIAKITA.CO.ID – Beberapa saat selepas adzan Magrib, tepat pada 23 Mei 1997 silam, Syahrani berpamitan kepada sang adik, Nana. Bersama sejumlah rekannya, pria yang merupakan warga Jalan Kelayan A itu nekat melangkahkan kaki di tengah suasana yang sangat mencekam.

Tak ada yang tahu arah tujuan gerombolan pemuda tersebut, namun yang pasti mereka mencoba menjawab rasa penasaran atas kegaduhan pada hari itu.

Sepanjang jarum jam berdentang, perasaan Nana terus diselimuti kerisauan. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain. Sebab, hingga hari berganti hari, Syahrani tak kunjung kembali. Beberapa patah kata yang sempat terlontar dari mulut Syahrani itu pun seakan menjadi kalimat terakhir yang masih membekas di memori ingatan seluruh kerabat.

25 tahun berlalu, hingga Senin (23/5/22) hari ini, keberadaan Syahrani masih menjadi teka-teki. Ia dianggap hilang bak ditelan bumi. Baik sang adik, Nana maupun anggota keluarga yang lain hanya bisa pasrah sembari berharap Syahrani masih dalam kondisi sehat, entah di belahan wilayah mana kini ia menetap.


Suasana mencekam saat tragedi Jumat Kelabu pecah tepat 25 tahun silam atau 23 Mei 1997. Foto - Dok. Wildan Tarmuji

Nana pun bimbang, ia ragu atas pikirannya sendiri soal keberadaan sang kakak. Ia tak yakin Syahrani menjadi salah satu di antara ratusan korban yang dikubur di makam massal Jumat Kelabu 23 Mei 1997 di Jalan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

“Masih berharap kakak segera pulang dan berkumpul bersama lagi,” harapnya dengan nada sendu saat ditemui di kediamannya di kawasan Banjarmasin Selatan.

Tak ubahnya permintaan masyarakat yang juga kehilangan anggota keluarga mereka, wanita berusia 37 tahun ini berharap pemerintah tak menutupi dan bersedia membuka ke publik hasil dari investigasi yang dilakukan di lapangan. Baik dugaan penyebab, jumlah korban yang masih simpang siur, hingga nasib anggota keluarga yang hilang sejak peristiwa kerusuhan massal itu pecah.


Jasad para korban tragedi Jumat Kelabu dimakamkan secara massal di Kawasan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru. Foto - Tim

“Sama seperti yang lainnya, kami menuntut kejelasan terkait perisitiwa yang kini memberikan rasa trauma,” ucapnya.

Sampai saat ini, belum ada data pasti yang menyebut jumlah korban akibat tragedi Jumat Kelabu tersebut. Misalnya, dari data Tim Pencari Fakta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), terdapat 123 korban tewas, 118 orang luka-luka, dan 179 lainnya dinyatakan hilang.

Namun, menurut versi kepolisian ada 121 korban jiwa yang tersebar di beberapa lokasi di Kota Banjarmasin. Berdasarkan laporan pihak keamanan lainnya, jumlah itu justru jauh lebih besar, yakni 142 orang.

Jumlah korban yang simpang siur ini, sebut Sejarawan Kalsel, Mansyur bisa saja terjadi karena adanya beberapa faktor. Mulai dari perbedaan metode perhitungan, serta tambahan dari korban kerusuhan di luar dari yang tewas terbakar.

“Untuk versi pers ada yang menulis 133, 136, 142, 155, 156 dan 170,” ujarnya saat dihubungi Mediakita.co.id.


Makam massal Jumat Kelabu 23 Mei 1997 di Jalan Ahmad Yani Kilometer 22, Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru. Foto - Dok. Mediakita.co.id

Lebih jauh, terkait korban hilang, Mansyur bilang jumlahnya sebanyak 179 orang atau sama dengan data lembaga bantuan hukum yang digawangi langsung oleh Munir Said. Untuk diketahui, aktivis yang tewas diracun pada 2014 ini turun langsung ke lapangan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM pada kejadian kelam tersebut.

Dalam keterangannya, YLBHI mengaku kesulitan untuk menghitung jumlah korban jiwa lantaran masih kuatnya represi ala orde baru. Tak heran jika sebagian besar saksi mata memilih bungkam saat disinggung perihal kejadian tersebut.

“Kemungkinan jumlah itu (korban hilang, red) sudah termasuk dengan jumlah korban tewas terbakar. Atau mereka yang menyelamatkan diri dengan cara menyeberang sungai dan akhirnya tenggelam,” tambah Akademisi Universitas Lambung Mangkurat itu.

Sekadar mengingatkan, menurut Muhammad Habibi Darma Saputra dalam penelitiannya, “Peristiwa Kerusuhan Banjarmasin 23 Mei 1997” (2014), ada tiga versi tentang awal kerusuhan.

Versi pertama menyebutkan bentrokan terjadi di luar dugaan jemaah salat Jumat. Mulanya, jemaah hanya memberikan teguran kepada para anggota satuan tugas (Satgas) Golkar yang mengamankan prosesi kampanye.

Namun anggota Satgas Golkar yang sebagian besar merupakan ‘preman’, ternyata membawa senjata tajam dan secara tak terduga menyerang jemaah hingga berlarian ke perkampungan di sekitar masjid.

Versi kedua menyebutkan bentrokan terjadi karena ada tiga pengendara motor yang merupakan anggota Satgas, babak belur dipukuli jemaah. Mereka kemudian memacu motor menuju kantor DPD Golkar Kalsel untuk mengadu pada teman-teman mereka dan kembali menyerang balik dengan pasukan yang lebih banyak.

Lalu versi terakhir berspekulasi, bentrokan pecah disebabkan beberapa faktor. Selain tiga pengendara sepeda motor di sekitar Masjid Noor yang diserang jemaah, juga karena sudah banyak satgas Golkar yang menyaksikan teman mereka dipukuli. Saat itu pula mereka ikut membantu, akan tetapi simpatisan dan Satgas yang berjumlah 8 orang, terdesak oleh massa yang semakin tumpah ruah. (hns)