Kai Imuk sedang mengaduk santan di dalam kawah untuk dijadikan tahi lala atau cocolan jengkol. Foto - Salim
MEDIAKITA.CO.ID - Menjelang pukul 10 pagi, Kai Imuk (65) masih asyik mengaduk santan kelapa yang dimasak di dalam sebuah wajan besar (Kawah), di atas tungku api. Asap putih beterbangan di sekelilingnya. Bagi banyak orang, asap dari pembakaran ini bisa membuat mata perih. Namun tidak berlaku bagi Kai Imuk.
“Sudah terbiasa, jadi mata Kai kada marasa padih (tidak merasa pedih, red) lagi,” ucap Kai Imuk saat Jurnalis Mediakita.co.id berbincang santai dengannya, di beranda rumahnya, Jumat (16/12/22).
Rutinitas mengaduk ini dilakoninya sejak pukul 8 pagi hingga pukul 11 menjelang siang. Dalam rentang waktu sekitar 3 jam tersebut, santan kelapa akan mengental, kemudian menjadi "Tahi Lala" atau cocolan yang akan menjadi pasangan jaring atau jengkol rebus. Salah satu kuliner khas Banjar.
“Setiap hari, diperlukan sekitar 100 hingga 150 butir kelapa,” kata Kai Imuk.
Kai Imuk bercerita, dulu, ketika belum ada mesin parut kelapa, butir-butir kelapa itu ia parut dengan cara manual, yakni menggunakan alat tradisional Parudan.
“Tapi, dulu itu nyiurnya (kelapa) tidak sebanyak sekarang,” ujar Kai Imuk sembari menyesap secangkir kopi hitam.
Tahi lala atau cocolan jengkol olahan Kai Imuk. Foto - Salim
Tepat di depan rumahnya, terdapat dua tungku besar untuk mengolah santan kelapa menjadi Tahi Lala atau cocolan. Namun sebelum diolah menjadi tahi lala, sabut buah kelapa dipisahkan terlebih dahulu dari batok atau tempurungnya. Kemudian, usai 'digunduli', batok kelapa yang masih berisi daging buahnya itu, dicuci di sungai Martapura yang berada di belakang rumahnya.
Setelah dicuci bersih, batok kelapa berdaging itu memasuki tahap selanjutnya, yakni diparut menggunakan mesin khusus yang diletakkan di belakang rumah Kai Imuk. Usai diparut, serpihan-serpihan daging kelapa yang sudah halus, diperas menggunakan tangan hingga mengeluarkan santan.
*Kejujuran Sebagai Modal*
Setelah beristirahat sejenak, ia kembali mengaduk santan kelapa sembari lanjut bercerita. Dari dulu hingga sekarang, modal utama dalam menjalankan usaha ini bukanlah materi atau uang, melainkan kejujuran.
Kai Imuk selalu berupaya untuk memegang teguh prinsip kejujuran dan bersikap amanah. Hal ini terbukti, sejak dahulu kala, ketika memulai usaha ini dari nol, kejujuran memuluskan jalannya.
"Dulu itu, Kai tidak memiliki uang, jadi untuk berjualan ini, bahan-bahannya dipinjami orang lain," kata Kai Imuk.
Bahan-bahan yang dipinjami orang lain itu, lantas ia pergunakan sebagaimana mestinya. Tidak ada keinginan untuk memanipulasi hasil produksi agar keuntungan yang didapat semakin besar.
Hingga sekarang, untuk mendapatkan bahan baku jengkol dan kelapa, Kai Imuk tidak perlu merogeh kocek terlebih dahulu untuk membelinya, selalu ada orang yang menawarkan atau siap memberinya pinjaman. Ia baru membayarnya ketika tahi lala buatannya sudah laku. Ikatan ini tercipta karena rasa saling percaya telah tertanam. Hal demikian juga diterapkannya kepada para pembeli jengkol atau tahi lalanya.
"Biasanya tiap subuh, ada yang mengambil jaring dan tahi lalanya untuk dijual lagi. Dibayarnya ketika sudah bulik (pulang, red)," ceritanya.
Kai Imuk menyakini, kejujuran dan amanah adalah pintu untuk mendatangkan rezeki.
"Jujur dan amanah dalam berusaha, kayina (nanti, red) rezeki datang dengan sendirinya," pungkasnya. (slm)