Pencarian

Setahun Tanpa ‘Makan’ Bangku Sekolah

Ilustrasi bangku sekolah yang lama yak digunakan untuk aktivitas belajar mengajar. Foto - Pixabay

Oleh : Fitrianingsih, S.Pd (Wakasek SMPN 10 Satui)

MEDIAKITA.CO.ID, Pojok Opini - Tepat satu tahun anak-anak usia sekolah di Indonesia tidak ‘makan’ bangku sekolah. Mereka hanya sekolah lewat internet. Istilahnya di dunia pendidikan, sekolah daring alias dalam jaringan (online). Kondisi itu dialami manakala Indonesia termasuk Negara yang terserang pandemi Covid-19.

Banyak yang harus berubah. Biasanya, kalau yang namanya sekolah itu, ya harus berangkat pagi, mengenakan seragam, bersepatu, lalu berangkat ke sekolah yang dituju. Ada ketentuan jam masuknya. Tepat jam 7 pagi, pintu gerbang sekolah telah ditutup. Jika terlambat masuk, otomatis ada punishment (hukuman).

Hukuman itu pun beragam, entah berupa lari-lari pagi berkeliling halaman sekolah atau bisa juga menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal ini dilakukan dengan harapan agar para siswa tidak akan terlambat lagi masuk sekolah keesokan harinya. Di sisi lain, untuk memberikan efek jera kepada si anak. 

Saat sekolah di rumah, semuanya berubah. Anak sekolah tidak perlu melakukan aktivitas layaknya anak sekolah. Rutinitas pagi pun hilang. Anak-anak sekolah hanya menunggu, mengutak-atik handphone, hanya sekadar memeriksa apakah sudah ada tugas yang masuk lewat WhatsApp atau Telegram. Ya, karena memang semua tugas guru berawal dari dua aplikasi tersebut. Terkadang, ada guru yang mengharuskan tatap muka melalui aplikasi zoom atau google meet. Itu pun tidak setiap hari. Kadang dalam satu minggu pun belum tentu ada, wajar saja jika dengan kondisi seperti itu anak-anak sering dianggap tidak sekolah oleh orang tuanya. Maklum, kondisi tersebut memang tidak lazim bagi setiap orang tua. Yang namanya sekolah berarti ya tidak di rumah.

Dari kondisi pandemi ini setidaknya ada dua perubahan besar yang harus kita pahami. Sikap orang tua dan anak-anaknya. Yang pertama kita bahas adalah sikap orang tua. Anak-anak yang belajar dari internet, orang tua harus banyak terlibat. Bagi anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, orang tua mengambil peranan hampir 90 persen. Kenapa bisa begitu? Karena saat pagi hari sekitar pukul 06.00 WITA, tugas anak sekolah biasanya masuk lewat handphone orang tuanya, bahkan hampir 95 persen masuk di handphone ibunya.

Dalam tugas tersebut, contohnya saja si anak diwajibkan membaca buku pelajaran dari halaman sekian sampai halaman sekian. Endingnya, si anak harus mengerjakan tugas. Lalu, tugas itu dikumpulkan melalui link yang telah dibuat gurunya. Otomatis, semua itu membutuhkan peran orang tua agar tugasnya bisa terkirim dengan lancar. Soalnya, anak yang duduk di bangku sekolah dasar masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tuanya dalam hal penggunaan handphone.

Lantas, perubahan besar itulah yang terjadi pada orang tua, khususnya ibu. Jika pagi hari biasanya si ibu hanya berkutat pada masalah persiapan dapur, sekarang ada tugas ekstra. Iya jadi ibu rumah tangga, iya juga guru bagi anaknya. Double job.

Jika anaknya bingung, si ibu harus bertindak dan sigap membantu anaknya mengerjakan tugas sekolah. Apakah ini normal? Tentu saja tidak. Pasalnya, saat ini ada yang menyebut sebagai zaman normal baru atau new normal. Apakah ibu dengan double job itu termasuk normal baru? Pastinya, banyak ibu yang semakin ribet saat anaknya sekolah daring. Ya berpikir kebutuhan bumbu dapur, sampai berpikir perkalian hingga penggunaan bahasa yang baik dan benar. Berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus berperan jadi guru semua mata pelajaran. Hebat para ibu!

Hal kedua yang kita bahas adalah perubahan besar bagi si anak. Yang paling terlihat adalah aktivitas. Anak-anak jelas lebih banyak di rumah, melakukan berbagai macam kegiatan sekolah dari rumah. Mereka pun tidak perlu berseragam apalagi bersepatu. Tapi tetap saja aktivitas ini disebut dengan sekolah arena semuanya hanya dilakukan melalui handphone. Bahkan, media pembelajarannya ada yang melalui YouTube. Setelah itu, soal-soalnya dikerjakan melalui google form. Full teknologi. Apakah ada anak yang tidak paham teknologi? Saat ini hampir 99 persen anak paham teknologi. Tentang bagaimana cara menggunakan handphone. Otomatis beragam tugas bisa terselesaikan dengan baik. Tapi apakah cara itu bisa efektif? Benarkah si anak benar-benar mampu mengerjakan soal hasil pemikirannya sendiri? Mari kita ulas sedikit.

Dari hasil pengamatan di lapangan, si anak selalu mencari aman, yang penting adalah nilainya bagus saat tugas diserahkan kepada gurunya, sehingga proses pembelajaran seringkali diabaikan. Ada kalanya anak yang semula biasa-biasa saja, saat terima rapor, rangkingnya naik pesat. Namun ada pula anak yang sebelum sekolah daring menjadi bintang di kelasnya, justru merosot rangkingnya. Ada apa? Usut punya usut, cerita dari mulut ke mulut, si anak yang semula bintang kelas tersebut tidak mampu mengoperasikan handphone, sehingga banyak tugas yang tidak diserahkan kepada gurunya. Orang tuanya juga sibuk bekerja. Dia hanya didampingi neneknya. Kondisi ini jelas membuat si anak terpuruk nilainya. Lain halnya dengan si anak yang tergolong biasa-biasa tadi. Orang tuanya mendampingi setiap ada tugas dari guru. Bahkan, soal yang dirasa sulit, si anak langsung membuka google. Searching di google. WOW…menjadi tidak fair. 

Dengan beragam kondisi tersebut, tidak ada salahnya pemerintah segera mengkaji ulang sekolah daring ini. Karena kondisi anak juga tidak berhadapan langsung dengan gurunya. Selain hasil nilai yang ‘semu’, bisa jadi cara hormat kepada gurunya juga terkikis. Memang dalam grup WhatsApp atau telegram tersebut berisi wali kelas, orang tua dan siswa. Tapi, siswa tidak pernah bertatap muka hingga berkomunikasi secara langsung dengan wali kelas atau guru mata pelajaran. Hanya tahu dari handphone. Seperti saat ini, hampir kenaikan kelas. Tapi banyak siswa yang tidak tahu wali kelas dan guru mata pelajarannya. Bagaimana bisa guru memahami siswanya, begitupun sebaliknya. Tahu-tahu, mereka sudah naik kelas dan akan berganti wali kelas serta guru mata pelajaran, ditambah lagi siswa menjadi kurang cara berinteraksi dengan teman-temannya.

Jika sekolah normal, mereka bisa berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman-temannya. Entah itu bermain atau mengerjakan tugas bersama di sekolah. Saat ini, bahkan ada yang tidak pernah bertemu dengan temannya dalam setahun terakhir. Ini akan membuat karakter sosialisasi sesama teman menjadi berkurang. Bisa menumbuhkan sifat individualisme. Apakah seperti ini yang akan diharapkan dari generasi masa depan dari anak-anak kita? Semoga segera ada solusi dari sistem pendidikan untuk anak-anak kita, khususnya menghadapi masa pandemi seperti sekarang ini. (***)