Pencarian

Hadir Sebagai Saksi, Bupati HSU Nonaktif Bantah Terima Hadiah Rp 500 Juta


Sidang lanjutan perkara dugaan suap proyek irigasi di Kabupaten HSU berlangsung di Gedung PN Tipikor Banjarmasin, Rabu (12/1/22). Foto - Hans

MEDIAKITA.CO.ID – Sidang perkara dugaan korupsi proyek irigasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan terus bergulir di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin.

Dalam sidang lanjutan yang dihelat Rabu (12/1/22) hari ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan Bupati HSU nonaktif, Abdul Wahid sebagai saksi pada perkara dengan terdakwa Marhaini dan Fachriadi tersebut.

Hadir secara daring dari Gedung KPK di Jakarta, Abdul Wahid tampak mengenakan kemeja putih lengkap dengan peci berwarna hitam.

Selama jalannnya persidangan, Abdul Wahid diberondong dengan puluhan pertanyaan oleh JPU KPK. Salah satunya terkait pemberiaan hadiah berupa uang dengan nominal Rp 500 juta dari Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) HSU, Maliki.

Mendapat pertanyaan itu, Wahid spontan membantah keras telah menerima hadiah dengan nominal yang telah disebutkan. Sebaliknya, ia menekankan bahwa penunjukkan Maliki sebagai Plt Kadis PUPRP HSU dilakukan berdasarkan pertimbangan.

Menurutnya, Maliki merupakan ASN berkompeten, berpengalaman serta memiliki senioritas. Sehingga, layak memegang tampuk pimpinan pada SKPD tersebut.

“Saya mengatakan tidak benar kalau Dia (Maliki, red) memberikan uang Rp 500 juta. Selain berkompeten, berpengalaman, Dia juga memenuhi persyaratan,” ujar Abdul Wahid.

Setelah mendapat jawaban dari Abdul Wahid, JPU KPK kembali menyodorkan pertanyaan ihwal alasan penetapan Maliki sebagai Plt Kadis PUPRP HSU yang terbilang cukup lama, terhitung sejak 2019 hingga 2021. Padahal, lanjut JPU KPK, jika memenuhi persyaratan dan dianggap layak mengapa tak ditetapkan sebagai jabatan definitif.

“Kenapa sampai sekarang masih Plt?” tanya JPU.

“Untuk menetapkan jabatan definitif Eselon II, kami harus mengajukan terlebih dahulu ke Komisi ASN di Jakarta. Pengajuan itu tentu memerlukan anggaran, permasalahannya kadang kami terkendala dalam hal anggaran,” beber Wahid saat menjawab pertanyaan JPU.


Bupati HSU Nonaktif, Abdul Wahid membantah dihadirkan secara daring dari Gedung Tahanan KPK di Jakarta. Foto - Hans

Selanjutnya, saat JPU KPK coba menggali informasi lebih dalam soal commitment fee terhadap proyek atau pekerjaan yang berjalan di HSU, Abdul Wahid terkesan banyak berkelit. Ia mengaku tak pernah mengetahui adanya biaya komitmen, termasuk uang komitmen yang diklaim diserahkan oleh para terdakwa.

“Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah ada terkait penarikan komitmen terdakwa,” tekannya.

Mendengar penjelasan itu, JPU KPK dibuat geleng-geleng. Sebab, dari penuturan beberapa saksi sebelumnya yang juga dihadirkan menyatakan bahwa adanya commitment fee di lingkup Pemkab HSU merupakan rahasia umum.

“Cuma perlu saya sampaikan, supaya Anda memikirkan. Karena dari seorang staf saja mengatakan bahwa itu (biaya komitmen, red) sudah merupakan rahasia umum,” ujar JPU mengulang keterangan dari saksi sebelumnya.

Selain itu, Abdul Wahid juga membantah memberikan persetujuan atas draf calon pemenang lelang pekerjaan yang disusun dan disodorkan kepadanya dari Plt Kepala Dinas PUPR Kabupaten HSU, Maliki, sebelum lelang pekerjaan diumumkan ke publik. 

"Dia (Maliki) cuma memperlihatkan daftar itu, saya minta dia melaksanakan sesuai ketentuan," bantahnya atas keterangan saksi Maliki dalam sidang sebelumnya.

Sekadar mengingatkan, Abdul Wahid juga turut terseret hingga menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2021 – 2022 itu.

Penetapan tersangka terhadap Abdul Wahid itu merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang sebelumnya dilakukan lembaga anti rasuah. Dalam operasi senyap itu KPK telah lebih dulu mengamankan tiga orang tersangka, mereka ialah Plt Kadis PUPRP HSU, Maliki, Direktur CV Hanamas, Marhaini serta Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.

Sebagai pengingat, kontruksi perkara kasus suap itu bermula dari Dinas PUPT Kabupaten HSU yang tengah merencanakan dua proyek lelang irigasi di antaranya Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah Kecamatan Amuntai Selatan, dengan nilai proyek Rp1,9 miliar. Lalu, Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang, Desa Karias Dalam, Kecamatan Banjang senilai Rp1,5 miliar.

Namun, sebelum melaksanakan lelang ternyata tersangka Maliki telah melakukan kongkalikong ihwal persyaratan lelang bersama Marhaini dan Fachriadi. Kala itu, Maliki telah meminta kepada calon pemenang lelang proyek untuk nantinya agar memberikan fee sebesar 15 persen.

Pada proses lelang, terdapat 8 perusahaan yang mengajukan penawaran atas proyek irigasi DIR tersebut. Hasilnya, Marhani memenangi lelang proyek DIR Kakayah, sementara proyek Irigasi DIR Banjang Desa Karias jatuh ke tangan Fachriadi. (hns)