Pencarian

Mitos ‘Sanja Kuning’ Menurut Suku Banjar, dari Makhluk Tak Kasat Mata Hingga Bahaya Santet


Ilustrasi lembayung senja atau 'sanja kuning'. Foto - Hans

MEDIAKITA.CO.ID – Lembayung senja atau dalam bahasa Banjar sering disebut ‘sanja kuning’ menjadi salah satu fenomena yang kerap dinikmati oleh banyak masyarakat. Saat menjelang Magrib, langit seketika memancarkan warna yang indah, dari jingga kemerahan hingga gradasi warna ungu violet yang khas.

Namun, di balik pancaran cahaya yang memesona itu, masyarakat Suku Banjar lebih mempercayai kehadiran ‘sanja kuning’ sebagai suatu pertanda buruk. Beberapa di antaranya sering dikaitkan dengan penyakit kuning, penyakit 'kapidaraan', atau bahkan kemunculan makhluk tak kasat mata yang tengah mencari mangsa.

“Ujar urang bahari (kata orang zaman dahulu, red), kalau ada sanja kuning, anak-anak dilarang untuk bermain di luar rumah, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan,” ucap seorang masyarakat di Kelurahan Belitung Selatan, Mas’an (74) saat ditemui Jurnalis Mediakita.co.id, Jumat (18/6/21).

Lebih jauh, kata Mas’an, sebagian warga Banjar meyakini banyak praktik parang maya atau santet dilakukan tepat ketika sanja kuning terjadi. Karena itu, masyarakat khususnya remaja wanita yang masih beraktivitas di luar harus bergegas masuk ke dalam rumah.

Sementara itu, Ida (46) menyampaikan berdasarkan cerita yang didapat dari kedua orang tuanya terdapat sejumlah pantangan yang tidak boleh dilanggar dalam mitos ‘sanja kuning’. Misalnya, larangan memainkan alat musik, larangan memasak menggunakan kompor dan menggantinya dengan kayu bakar, serta larangan duduk di depan pintu maupun beranda rumah.

Sehingga, apabila anjuran tersebut tidak dipenuhi, maka akan menyebabkan sesuatu hal buruk terjadi dan menimpa individu bersangkutan.

“Mun kada measi (kalau tidak mematuhi, red) bisa sakit berkepanjangan. Orang bahari juga menganjurkan agar berdoa untuk memohon diberikan perlindungan,” jelasnya yang merupakan warga Jalan Kampung Melayu Darat, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin itu.

Melansir laman Science Daily, profesor meteorologi dari University of Wisconsin, Steven Ackerman menerangkan bahwa pancaran matahari terbenam ketika senja datang dihasilkan dari sebuah fenomena yang disebut scattering atau pemendaran cahaya. Molekul dan partikel kecil di atmosfer mengubah arah sinar cahaya, sehingga menyebabkannya berhamburan atau berpendar di udara.

Hamburan tersebut mempengaruhi warna cahaya yang datang dari langit, tetapi detailnya ditentukan oleh panjang gelombang cahaya dan ukuran partikel. Gelombang cahaya biru dan ungu yang pendek tersebar oleh molekul di udara melebih spektrum warna lainnya. Inilah yang menyebabkan mengapa cahaya biru dan ungu mencapai mata kita dari segala arah saat cuaca cerah.

"Karena matahari rendah di cakrawala, sinar matahari melewati lebih banyak udara saat matahari terbenam dan terbit di pagi hari," jelas Ackerman.

Lebih banyak atmosfer berarti akan lebih banyak molekul yang menyebarkan cahaya ungu dan biru, ditambah lagi jika gelombangnya cukup panjang, kedua warna cahaya tadi akan keluar dari garis pandang mata.

"Warna-warna lain terus menuju ke mata. Inilah mengapa matahari terbenam sering berwarna kuning, oranye, bahkan merah," bebernya. (hns)