
Kuasa hukum Maliki saat memberi keterangan kepada awak media. Foto - Hans
MEDIAKITA.CO.ID – Eks Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPR) Kabupaten Hulu Sungai Utara, Ir. H. Maliki, S.H., M.H., menjalani sidang perdana di Gedung PHI – Tipikor Pengadilan Negeri Banjarmasin, Rabu (2/2/22).
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan surat dakwaan, terdakwa Maliki yang hadir secara daring dari dalam Lapas Teluk Dalam tampak mengenakan kemeja sasirangan. Terlihat jelas dari layar proyektor, dirinya juga sesekali menggaruk-garuk kepala ditengah pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Berdasarkan surat dakwaan Nomor: 20/TUT.01.04/24/01/2022, terdakwa Maliki disebut pernah diminta Bupati nonaktif, Abdul Wahid untuk menyusun plotting paket pekerjaan lengkap dengan nama calong pemenang.
Terkait calon pemenang, Abdul Wahid tak mempermasalahkan selama memberikan uang komitmen fee sebesar 10 persen kepada dirinya. Mendapat permintaan itu, Maliki lantas menyiapkan daftar pekerjaan pada Bidang Sumber Daya Air dengan cara memerintahkan Hairiyah untuk merekap daftar sesuai dengan dokumen pelaksanaan anggaran.
“Selanjutnya bertempat di rumah dinas Bupati HSU terjadi pertemuan antara terdakwa dengan Abdul Wahid,” tutur JPU KPK, Budi Nugraha dihadapan Majelis Hakim Persidangan.
Pada pertemuan itu, Maliki diketahui menyerahkan 8 daftar pekerjaan, termasuk di antaranya paket Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kakayah dengan calon pemenang Direktur CV Hanamas, Marhaini. Sedangkan Fachriadi, mendapat pekerjaan Rehabilitasi Jaringan DIR Banjang.
Daftar tersebut kemudian mendapat persetujuan dari Abdul Wahid. Dirinya juga mengingatkan terdakwa agar setiap pemenang menyediakan biaya komitmen sesuai kesepakatan. Dari sana, Maliki lalu melakukan pertemuan dengan Marhaini serta Fachriadi di Kantor Dinas PUPRP HSU. Pertemuan itu diketahui terjadi sebanyak dua kali.
Dalam pertemuan perdana, Maliki langsung menyodorkan persyaratan fee sebesar 15 persen kepada keduanya agar dapat memenangkan lelang yang sebelumnya sudah ditetapkan. Permintaan itu dipenuhi keduanya, dengan catatan realisasi biaya komitmen dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan termin pekerjaan.
“Pertemuan kedua sekira April 2021, terdakwa mengingatkan tentang kesepakatan fee sebesar 15 persen. Yaitu, Marhani sebesar Rp 300 juta serta Fachriadi Rp 240 juta,” lanjut JPU.
Berikutnya, pada 31 Mei 2021, atas persetujuan Abdul Wahid, terdakwa yang juga merupakan pejabat pembuat komitmen kemudian memutuskan menunjuk perusahaan CV Hanamas serta CV Kalpataru untuk mengerjaan dua paket yang disepakati sebelumnya.
Selang beberapa waktu, ketika pencairan uang muka, Fachriadi dan Marhaini menyerahkan uang komitmen kepada terdakwa melalui Mujib Riyanto. Besarannya masing-masing Rp 125 juta dari Marhaini, sedangkan Fachriadi menyetor Rp 70 juta.
Sisa biaya komitmen baru dipenuhi oleh keduanya ketika pencairan termin pertama. Rp 175 juta diserahkan Marhaini, lalu Fachriadi menyerahkan Rp 170 juta. Uang tersebut diserahkan masih melalui Mujib Riyanto yang kemudian diberikan kepada terdakwa di kediamannya Jalan Negara Dipa Nomor 048, Kelurahan Sungai Malang, HSU.
Masih dalam surat dakwaannya, JPU KPK pun beranggapan bahwa perbuatan terdakwa Maliki tersebut bertentangan dengan kewajiban Abdul Wahid selaku penyelenggara negara alias Bupati Hulu Sungai Utara.
Akibatnya, tedakwa terancam jerat pidana Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jucto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, JPU juga menjerat terdakwa dengan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Tuti Elawati, S,H., M.H., menegaskan tak mengajukan keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan yang dibacakan JPU. Alasannya ialah pihaknya bakal memperjelas permasalahan melalui serangkaian persidangan yang akan dijalani ke depan.
“Akan kita perjelas dalam tahap pembuktian. Yang akan kami tekankan peran dari klien kami,” ucapnya usai persidangan.
Sekadar mengingatkan, Maliki terpaksa berurusan dengan hukum usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 16 September 2021 lalu. Ia diamankan bersama Marhaini dan Fachriadi terkait suap proyek irigasi.
Sejak tertangkap basah oleh lembaga antirasuah, Maliki sendiri telah mendekam di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK pada Rutan POMDAM Jaya Guntur. Kemudian, saat berkas perkaranya dilimpahkan ke PN Banjarmasin, tepatnya pada 24 Januari 2022, ia lalu dipindahkan ke Lapas Teluk Dalam Banjarmasin. (hns)